Kamis, 28 Februari 2013

Menulis, Budayakan Mengikat Ilmu

Menulis, Budayakan Mengikat Ilmu

Sebagai manusia keturunan Adam yang diciptakan Allah swt., kita telah dibekali pengetahuan mengenai nama-nama seluruh benda di dunia. Masalah ini mengingatkan kita kepada firman Allah yang menceritakan bahwa malaikat pernah memprotes saat Adam dan keturunannya diangkat menjadi khalifah di bumi. Ayat tersebut berbunyi, “Ataj’alu fiihaa manyufsidu fiihaa wayasfiqud dimaa’ wa nahnu nusabbihu bihamdika wanuqaddisulak? (Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? Padahal, kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” (Q.S. al-Baqarah [2]: 30).
Kemudian, Allah swt. pun mengajarkan kepada anak keturunan Adam, nama-nama segala sesuatu  yang ada di bumi sebagai pengetahuan atau ilmu untuk membedakan dengan malaikat, bahkan menempatkannya dalam derajad yang paling tinggi di antara makhluk ciptaan-Nya.
Tak hanya sebatas mengetahui nama-nama. Ternyata, berbekal pengetahuan tersebut, Allah swt. juga memberikan kelebihan kepada manusia berbagai ilmu pengetahuan yang sangat luas. Muhammad, sebagai nabi terakhir yang diutus-Nya, telah menerima wahyu paling “membahana” berupa Al-Qur’an. Ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun adalah “Iqra’ bismi rabbika ladzi khalaq,” satu kedahsyatan bagi umat Islam. Membaca, kemudian diperintahkan menjadi suatu first action (aktivitas pertama) sebelum melakukan sesuatu. Membaca yang dimaksud bukan hanya sekadar membaca buku, tetapi membaca segala tanda (firman) Allah swt. yang telah diciptakan di muka bumi. Bukankah ini sebuah perintah yang sangat dekat dengan tradisi ilmiah dalam kehidupan akademis?
Perintah “membaca” itu tak lain dan tak bukan adalah kedahsyatan yang mesti menjadi budaya kita. Bagaimana tidak? Sebagai khalifah di bumi, kita diperintah untuk membaca semua tanda yang terbentang di seluruh ufuk semesta dan pada diri kita sendiri,Sanuriihim aayaatina fil afaaqi wa fii anfusihim hattaa yatabayyana lahum annahul haq. Awalam yakfi birabbika annahu kulli syai’in syahiid. (Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Q.S. Fushshilat [41]: 53).
Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib pernah berpesan, “Qayyidul ‘ilma bil kitaabah (Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.)” Ilmu yang telah kita ketahui tersimpan rapi di dalam memori otak, sedangkan untuk menguaknya kembali, kita membutuhkan ketenangan jiwa. Padahal, jiwa kita tak selalu mendapatkan kedamaian saat menghadapi realitas dunia. Untuk itu, dibutuhkan pengikat di luar kepala, sebelum kita kesulitan mengingatnya kembali. Menuliskannya adalah solusi tepat dan dahsyat bagi peradaban dunia. Sebab, kitalah pemegang otoritas kedua dunia ini, sebagai khalifah Allah swt.
MGMP PAI tulung agung doc*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar