Menulis, Budayakan Mengikat Ilmu
Sebagai
manusia keturunan Adam yang diciptakan Allah swt., kita telah dibekali
pengetahuan mengenai nama-nama seluruh benda di dunia. Masalah ini
mengingatkan kita kepada firman Allah yang menceritakan bahwa malaikat
pernah memprotes saat Adam dan keturunannya diangkat menjadi khalifah di
bumi. Ayat tersebut berbunyi, “Ataj’alu fiihaa manyufsidu fiihaa wayasfiqud dimaa’ wa nahnu nusabbihu bihamdika wanuqaddisulak? (Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? Padahal, kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” (Q.S.
al-Baqarah [2]: 30).
Kemudian,
Allah swt. pun mengajarkan kepada anak keturunan Adam, nama-nama segala
sesuatu yang ada di bumi sebagai pengetahuan atau ilmu untuk
membedakan dengan malaikat, bahkan menempatkannya dalam derajad yang
paling tinggi di antara makhluk ciptaan-Nya.
Tak
hanya sebatas mengetahui nama-nama. Ternyata, berbekal pengetahuan
tersebut, Allah swt. juga memberikan kelebihan kepada manusia berbagai
ilmu pengetahuan yang sangat luas. Muhammad, sebagai nabi terakhir yang
diutus-Nya, telah menerima wahyu paling “membahana” berupa Al-Qur’an.
Ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun adalah “Iqra’ bismi rabbika ladzi khalaq,” satu kedahsyatan bagi umat Islam. Membaca, kemudian diperintahkan menjadi suatu first action (aktivitas
pertama) sebelum melakukan sesuatu. Membaca yang dimaksud bukan hanya
sekadar membaca buku, tetapi membaca segala tanda (firman) Allah swt.
yang telah diciptakan di muka bumi. Bukankah ini sebuah perintah yang
sangat dekat dengan tradisi ilmiah dalam kehidupan akademis?
Perintah “membaca” itu tak lain dan tak bukan adalah kedahsyatan yang mesti menjadi budaya kita. Bagaimana tidak? Sebagai
khalifah di bumi, kita diperintah untuk membaca semua tanda yang
terbentang di seluruh ufuk semesta dan pada diri kita sendiri, “Sanuriihim
aayaatina fil afaaqi wa fii anfusihim hattaa yatabayyana lahum annahul
haq. Awalam yakfi birabbika annahu kulli syai’in syahiid. (Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi
kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Q.S.
Fushshilat [41]: 53).
Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib pernah berpesan, “Qayyidul ‘ilma bil kitaabah (Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.)”
Ilmu yang telah kita ketahui tersimpan rapi di dalam memori otak,
sedangkan untuk menguaknya kembali, kita membutuhkan ketenangan jiwa.
Padahal, jiwa kita tak selalu mendapatkan kedamaian saat menghadapi
realitas dunia. Untuk itu, dibutuhkan pengikat di luar kepala, sebelum
kita kesulitan mengingatnya kembali. Menuliskannya adalah solusi tepat
dan dahsyat bagi peradaban dunia. Sebab, kitalah pemegang otoritas kedua
dunia ini, sebagai khalifah Allah swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar